Jika Wahyu Telah Hilang, Ibukota Akan Gamang
![]() |
foto:detiknews |
Saya meniru tulisan almarhum Onghokham tentang konsep
kekuasaan tradisional. Menurut “grand master” sejarah nusantara ini, tradisi
kekuasaan Nusantara (khususnya Jawa) sebetulnya tidak dilekatkan kepada
kedinastian yang berorientasi kepada keturunan sebagai pewaris tahta. Tapi
menurutnya, kekuasaan di Nusantara lebih didasarkan kepada wahyu tuhan (Wahyu
Kedaton. Red).
Konsep kekuasaan berdasarkan wahyu ini memiliki dua
kecenderungan mutlak. Dalam satu sisi kekuasaan bisa sangat absolut, tapi di
sisi lain kekuasaan sebuah dinasti sangat rapuh berlangsung sangat singkat. Jika
ada seorang penguasa yang gagal dalam meyakinkan rakyat bahwa dia mendapat
wahyu kedaton, pasti dengan mudah sang penguasa bisa digulingkan.
Karena itulah suatu dinasti di Nusantara umumnya berumur
maksimal 100 tahun. Berbeda dengan dinasti-dinasti di Mesir, Cina, dan India
yang satu dinasti bisa mempertahankan keuasaan selama ribuan tahun. Bahkan,
mayoritas dinasti-dinasti kecil di Nusantara umurnya tidak mencapai seratus
tahun dengan kekuasaan raja-rajanya maksimal rata-rata 15 tahun dan hancur pada
penguasa generasi ketiga.
Uniknya, kepercayaan adanya “jatah waktu” bagi dinasti
selanjutnya sering dinyatakan dalam ramalan ketika sebuah kekuasaan sudah mulai
goncang. Lebih unik lagi, ramalan ini biasanya dinyatakan oleh seorang resi
yang berafiliasi kepada pihak oposisi.
Namun yang jelas, pada umumnya masyarakat Nusantara,
percaya kepada ramalan-ramalan yang dikumandangkan oleh resi, dalam islam
mungkin bisa disebut Ulama Khos. Kepercayaan kepada ramalan pergantian
dinasti akan semakin menggema manakala
seorang raja dianggap buruk dalam memerintah. Bahkan yang sedang
berkuasa sangat percaya dengan ramalan tersebut. Bisa dikatakan, tidak ada satu
halpun yang bisa menggoncang seorang penguasa selain ramalan.
Jelas terlihat bahwa jika sebuah dinasti telah dianggap
tidak mendapat wahyu kedaton, maka pantas bagi mereka untuk menyingkir dari
tampuk kekuasaan (lengser keprabon). Bagi sang penguasa, ketika dengan
jelas mereka melihat telah hilangnya wahyu dari tangan mereka, seketika mereka
tidak memiliki hasrat untuk memerintah. Jika seorang penguasa memaksa diri
untuk terus memerintah, maka dipastikan roda kekuasaan akan macet dan hanya akan mendapat apatisme dari rakyat
yang dia pimpin.
Dalam pilkada DKI kemarin, model kekuasaan berdasar wahyu
tuhan telah dimodifikasi sedemikian rupa. Tadinya saya mengira kampanye dengan
mengatasnamakan tuhan sudah tidak mendapat tempat lagi di hati masyarakat
urban-modern. Ternyata salah besar, masyarakat kita ternyata masih sangat
meyakini konsep kekuasaan berdasar wahyu tuhan itu dalam bentuk simbol-simbol
agama. Bahkan saya melihat, semakin modern sebuah masyarakat maka akan semakin
fanatik terhadap simbol-simbol agama. Semakin ketengah kota seseorang tinggal,
maka semakin dekatlah dia dengan sosok-sosok yang menyederhanakan hakekat
tuhan.
Masyarakat urban adalah sekumpulan orang yang selalu
menginginkan hal-hal praktis dan linear, mereka umumnya tidak suka hal-hal yang
berbelit-belit. Bagi mereka sangat tidak efisien dan pemborosan. Demikian juga
terhadap pembelajaran agama. Hal ini sangat berpengaruh terhadap orientasi
politiknya. Dalam pilkada DKI kemarin, mayoritas masyarakat tidak begitu fokus
kepada visi dan misi kandidat. Yang mereka lihat hanya dua hal, modern
sekaligus religius. Dan sosok Anies-Sandi mampu menunjukan modernitas sekaligus
religiusitas dalam setiap penampilan mereka.
Anies-Sandi sangat jeli dalam melihat kelemahan sosok
Ahok yang non-muslim dan tionghoa. Setali tiga uang, Ahok adalah sosok yang
terlalu kasar saat berbicara. Seperti yang kita tahu, ada doktrin yang menarik
di kalangan umat Islam; barang siapa yang sering berdzikir maka lisannya akan
dijaga oleh Allah SWT dari ucapan-ucapan kasar. Intinya adalah, kerena Ahok
sering bicara kasar maka Ahok bukan seorang ahli dzikir.
Dengan kemenangan Anies-Sandi yang dipenuhi simbol-simbol
agama, maka mereka berdua memiliki beban yang sangat berat untuk terus
menggenggam wahyu kedaton yang mereka dapatkan. Tentunya dengan pembuktian
kinerja yang baik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wahyu kedaton akan
hilang manakala seorang penguasa tidak becus dalam memerintah.
Akan semakin berat lagi mereka memikul wahyu kedaton itu,
karena mereka dikendalikan oleh gembong-gembong politik cendana.
Wahyu tuhan memang bisa membawa kekuasaan mutlak, tapi
wahyu tuhan sangat mudah hilang manakala kekuasaan tidak dijalankan dengan
baik. Sama seperti sosok Guardiola, dia adalah pelatih yang diwahyukan akan
juara bersama City, tapi karena tidak menjalankan strategi dengan baik dan
diintervensi oleh ambisi pemilik klub, akhirnya dia disalip oleh Mourinho yang
sederhana dan lugas.
Posting Komentar untuk "Jika Wahyu Telah Hilang, Ibukota Akan Gamang"